04 April, 2010

Mandi Janabah : Mendulang Pahala di Pagi Buta

Di pagi buta, seseorang terkadang mendapatkan “basah” pada sarung atau pakaiannya sehingga ada diantara kita merasa pusing, apa yang harus dilakukan? Ada diantara kita yang tidak paham kalau dirinya harus mandi saat itu agar ia dapat “Mendulang Pahala di Pagi Buta”.

Seorang manusia yang sempurna, mesti mengalami perkara-perkara yang mengharuskan dirinya untuk “mandi wajib”, yaitu mandi janabah atau junub. Dari sisi lain, ada sebagian kaum muslimin yang tidak mengetahui mandi wajib. Sehingga ada diantara mereka sudah dewasa belum tahu caranya. Ada juga yang sudah beranak-pinak, bahkan sudah hampir masuk ke liang lahat, namun belum tahu mandi junub. Ada lagi diantara mereka yang nanti mau tahu dan belajar tentang hal tersebut ketika diambang pintu nikah. Tapi ini masih mending daripada yang sebelumnya. Oleh karena itu, setiap muslim harus mengilmuinya, sebab itu adalah amanah dari Allah atas para hamba-hanba-Nya yang muslim.

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan-hafizhohullah- berkata dalam Al-MulakhkhosAl-Fiqhiy (hal 58),
“Bersuci dari hadats besar merupakan salah satu amanah diantara amanah-amanah antara hamba dengan Rabbnya wajib baginya untuk menjaganya, memperhatikan hukumnya, agar ia mampu melaksanakannya berdasarkan cara yang disyariatkan. sesuatu yang bermasalah baginya diantara hukumnya dan konsekuensinya, maka dia ditanyakan. Janganlah perasaan malu menghalangi dirinya dari hal itu, karena Allah tidak malu dari kebenaran. Jadi, malu yang menghalangi bagi pemiliknya dari bertanya tentang urusan agamanya merupakan malu yang tercela. Itu sebenarnya sifat pengecut dari setan agar dia bisa merintangi manusia untuk menyempurnakan agamanya, dan mengenal hukum-hukum yang wajib baginya. Perkara bersuci merupakan perkara yang amat agung dan dia amat penting, karena terakibatkan sahnya sholat yang merupakan tiang agama”.

Beberapa Perkara yang Mengharuskan Mandi Junub

Perkara-perkara yang mengharuskan seseorang mandi junub alias mandi wajib telah dijelaskan oleh para ulama kita dalam kitab-kitab mereka. Seorang muslim harus mengetahui perkara-perkara yang mengharuskan dan menyebabkan seseorang mandi junub, karena boleh jadi ia akan mengalaminya, atau orang lain sehingga ia pun bisa mengamalkan sunnah Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- dalam hal in, dan menuntun sesamanya. Diantara perkara-perkara yang mengharuskan kita mandi junub alias mandi wajib:

Keluarnya Mani Ketika Tidur atau Sadar
Jika seseorang usai tidur, lalu ia mendapatkan air mani pada pakaiannya atau pada dirinya, maka ia harus melakukan mandi junub, sekalipun ia tidak merasakan kelezatan syahwat. Ummu Salamah -radhiyallahu ‘anhu- pernah bertanya kepada Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya Allah tak malu karena kebenaran. Apakah wajib bagi seorang wanita untuk mandi junub, bila ia mimpi basah?” Beliau bersabda,
نعم إذا رأت الماء
“Ya, (harus mandi) jika ia melihat (mendapatkan) air mani”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (130), Muslim dalam Shohih-nya (313), dan At-Tirmidziy dalam As-Sunan (122)]
Adapun jika dalam kondisi terjaga (tak tidur), maka dipersyaratkan adanya kelezatan syahwat yang dirasakan oleh seseorang, entah karena berjimak, bermain onani (suatu perbuatan haram, seorang mengeluarkan mani dengan menyentuh kemaluannya sampai mengeluarkan mani), atau karena sebab lain yang menyebakan syahwatnya memuncak, dan dirinya mengeluarkan mani.
Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إذا حذفت الماء فاغتسل من الجنابة. فإذا لم تكن حاذفا فلا تغتسل
“Jika engkau menyemburkan (memancarkan) air mani, maka mandi junublah. Jika tidak menyemburkannya, maka jangan mandi”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/107/no.847), dan dikuatkan oleh Al-Albaniy dalam Irwa’ Al-Gholil (1/162)]
Asy-Syaukaniy -rahimahullah- berkata dalam Nail Al-Author (1/275) ketika mengomentari hadits ini, “Menyemburkan adalah memancarkan. Ini tidak akan terjadi seperti, kecuali dengan syahwat. Oleh karena ini, Penulis berkata, “Dalam hadits ini terdapat peringatan bahwa sesuatu yang keluar, tanpa syahwat, entah karena sakit, atau dingin, maka hal itu tidak mengharuskan mandi”.”.
Seorang mimpi berjimak, namun saat terbangun ia tak mendapatkan air mani pada dirinya, maka tak wajib mandi. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pernah ditanya tentang hal tersebut, maka beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Tak (kewajiban) mandi atasnya”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (233), dan At-Tirmidziy dalam As-Sunan (113). Di-shohih-kan Al-Albaniy dalam Shohih Sunan Abi Dawud (233)]
Terputusnya Haidh, dan Darah Nifas
Seorang wanita yang usai mengalami haidh, dan masa nifas dengan terhentinya darah yang keluar darinya, maka ia diwajibkan mandi junub agar ia selanjutnya bisa melaksanakan sholat, dan berhubungan dengan suaminya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, فإذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة وإذا أدبرت فاغسلي عنك الدم وصلي “Jika masa haidh datang, maka tinggalkan sholat. Jika telah pergi (usai), maka cucilah darah yang ada pada dirimu, dan sholatlah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (320), dan Muslim dalam Shohih-nya (333)]

Berjimak Walaupun tidak Mengeluarkan Mani
Jika seseorang berjimak dengan istrinya (maksudnya, ia memasukkan kemaluannya pada lubang peranakan istrinya), namun ia atau istrinya tidak mengeluarkan mani, maka dalam kondisi seperti ini seseorang harus mandi, walaupun ia tak mengeluarkan mani. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إذا جلس بين شعبها الأربع ثم جهدها فقد وجب عليه الغسل وإن لم ينزل
“Jika ia (suami) telah duduk diantara empat anggota tubuhnya (yaitu, kedua tangan, dan kedua kaki,pen), lalu ia menggaulinya, maka wajib baginya mandi, sekalipun ia tidak mengeluarkan mani” [HR. Muslim dalam Shohih -nya (354)]

Islamnya Seorang Kafir
Jika seorang masuk ke dalam Islam, maka diwajibkan bagi dirinya untuk mandi wajib sebagaimana yang dijelaskan dalam beberapa hadits dari Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- . Ini perlu diketahui karena terkadang seorang kafir masuk ke dalam Islam, namun tak ada seorang muslim pun yang tahu kalau mandi bagi si kafir tersebut wajib baginya saat ia sudah usai ber-syahadat. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- ,
عن قيس بن عاصم أنه أسلم فأمره النبي صلى الله عليه وسلم أن يغتسل بماء وسدر
“Dari Qois bin ‘Ashim bahwa ia telah masuk Islam, lalu ia diperintahkan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk mandi dengan air dan daun bidara”. [HR. Abu Dawud (351), At-Tirmidziy (602), dan An-Nasa’iy (1/109), dan di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa’ (128)]

Sunnah Rasulullah ketika mandi junub
Bila seseorang ingin dapat mendulang pahala di pagi buta saat dia mandi junub, maka hendaknya dia mengikuti sunnah Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- pada saat itu.
Abu Muhammad Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy-rahimahullah- berkata, “mandi junub memiliki bentuk-bentuk yang mencukupi dan bentuk sempurna. Yang disebutkan Al Khiroqi disini adalah bentuk yang sempurna, sebagian shahabat kami berkata, bentuk yang sempurna datang (disebutkan) di dalamnya sepuluh perkara:
- niat,
- membaca bismillah,
- mencuci kedua tangan dua kali,
- mencuci kemaluan & sesuatu yang terkena gangguan (mani),
- berwudhu,
- menciduk air (dengan telapak) keatas kepala sebanyak dua kali sehingga bisa membasahi pangkal rambut, dianjurkan untuk menyela-nyelai pangkal rambut kepala dan jenggotnya dengan air sebelum mengalirkan air ke badan
- mengalirkan air keseluruh badan, memulai dengan bagian kanan badan
- menggosok badan dengan tangan,
- berpindah dari tempat mandinya,
- lalu mencuci kaki, [Lihat Al-Mughni (1/287)].

Sepuluh perkara yang disebutkan para ulama tadi merupakan inti sari faedah yang terambil dari hadits-hadits berikut:
A’isyah –radhiyallahu ta’ala anha- berkata,
إذا اغتسل من الجنابة يبدأ فيغسل يديه ثم يفرغ بيمينه على شماله فيغسل فرجه ثم يتوضأ وضوءه للصلاة ثم يأخذ الماء فيدخل أصابعه في أصول الشعر حتى إذا رأى أن قد استبرأ حفن على رأسه ثلاث حفنات ثم أفاض على سائر جسده ثم غسل رجليه
“ Dulu Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- apabila mandi junub, maka beliau mulai dengan mencuci kedua tangannya, lalu beliau tuang air ketangan kirinya dengan tangan kanannya seraya mencuci kemaluannya. Kemudian, dia berwudhu seperti ketika ia mau sholat, lalu mengambil air seraya memasukkan tangannya ke pangkal rambutnya. Setelah itu, dia menciduk air ke atas kepalanya sebanyak tiga kali cidukan, lalu dia mengalirkan air keseluruh tubuhnya, berikutnya ia mencuci kedua kakinya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya , dan Muslim dalam Shohih-nya (316)]
عن بن عباس عن ميمونة أن النبي صلى الله عليه وسلم اغتسل من الجنابة فغسل فرجه بيده ثم دلك بها الحائط ثم غسلها ثم توضأ وضوءه للصلاة فلما فرغ من غسله غسل رجليه
“Dari Maimunah, ia berkata, bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah mandi junub, lalu ia mencuci kemaluannya dengan tangannya. Kemudian ia menggosokkan tangannya ke dinding, lalu mencucinya, dan berwudhu’ sepertinya ketika mau sholat. Tatkala usai mandi, maka beliau mencuci kedua kakinya”. [HR. Al-Bukhoriy dan Muslim]

Baca Selanjutnya >>>

31 Maret, 2010

Dr. Wahidin Soedirohoesodo keturunan Bugis-Makassar


MENGETAHUI ada darah Bugis-Makassar mengalir dalam tubuh Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917), Adin mengaku kaget bercampur bangga. Pada satu senja, di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yogyakarta, lelaki Bugis-Makassar yang menikahi perempuan asal Jepara ini pun bersimpuh di sisi makam pahlawan nasional penggagas kelahiran Budi Utomo tersebut.

Semula Adin—nama lengkapnya Suryadin Laoddang—tak percaya pada fakta baru yang ia terima. Bukankah dalam sejarah resmi yang ditulis selama ini disebutkan bahwa dokter Wahidin Soedirohoesodo adalah priyayi Jawa? Potret sang tokoh pun selalu ditampilkan dalam busana lelaki ningrat Jawa, lengkap dengan blangkon di kepalanya.

Akan tetapi, melalui pendekatan genealogis diketahui bahwa tokoh pergerakan nasional tersebut ternyata masih keturunan Karaeng Daeng Naba. Bangsawan Bugis-Makassar ini mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni-Belanda tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan di pusar tanah Jawa (baca: Mataram), di mana Trunajaya tampil sebagai tokoh antagonisnya.

Atas jasa Daeng Naba yang ikut membantu Amangkurat II meredam pemberontakan Trunajaya (1670-1679), ia dinikahkan oleh sang penguasa Mataram dengan putri Tumenggung Sontoyodo II. Selain itu, ia juga dihadiahi “tanah perdikan” yang sekarang berada di daerah Mlati, Sleman, Yogyakarta. Dari hasil perkawinan campuran itu, seabad kemudian lahir priyayi Jawa terkemuka bernama Mas Ngabehi Wahidin Soedirohoesodo.

Majalah PESAT edisi 6 Februari 1952 (Thn VIII, No 6:19) memuat ulasan tentang hal itu, di bawah sub-judul: “Siapakah dr Wahidin?”. Fakta sejarah ini juga muncul di Berita Kebudayaan edisi 28 November 1952. RAGI BUANA edisi Mei 1959 (Thn VI, No 64) yang mengutip keterangan yang pernah disampaikan dokter Radjiman Wediodiningrat (1879-1952)—pendiri Budi Utomo yang juga kerabat Wahidin—ikut memperkuat fakta sejarah tersebut.

Bahwa “Wahidin berdarah tjampuran suku Djawa dan Makassar, ialah keturunan DainKraing Nobo, seorang pradjurit jang dalam djaman Mataram membantu Sunan Amangkurat Tegal Arum melawan Trunodjojo...”

Kenyataan bahwa Wahidin bukanlah orang Jawa asli kian menggugah kesadaran kebangsaan Adin, betapa tipis sesungguhnya batas-batas etnisitas di negeri ini. “Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu kalau Wahidin—juga Radjiman Wediodiningrat—berdarah Bugis-Makassar,” ujarnya.

Masih di kompleks pemakaman yang sama, di luar cungkup utama yang sudah dibangun pemerintah setelah Wahidin Soedirohoesodo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Adin juga menyempatkan ziarah ke makam sang leluhur: Daeng Naba! Dua deret di depan makam Daeng Naba, 32 prajurit dari Gowa (tanpa nama) juga dimakamkan di sana.

Persekutuan

Sejarah mencatat, perang Trunajaya melawan Mataram dan Kompeni (1670-1679) juga melibatkan prajurit-prajurit Bugis-Makassar. Dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Galesong dan Daeng Naba, berada di dua kubu yang berbeda. Karaeng Galesong membantu Trunajaya, sedangkan Daeng Naba yang “menyusup” ke kesatuan Kompeni-Belanda menopang kekuatan Mataram.

Galesong yang bernama lengkap I Maninrori Karaeng Galesong adalah satu di antara sekian banyak bangsawan Bugis-Makassar yang pergi dari negerinya karena tidak puas atas penerapan Perjanjian Bongaya (1667), menyusul jatuhnya Benteng Somba Opu ke tangan Belanda. Semula ia mendarat di Banten, menyusul rekannya sesama bangsawan yang telah lebih dahulu tiba di sana, yakni Karaeng Bontomarannu.

Situasi genting di Banten memaksa Galesong dan Bontomarannu berlayar ke timur, ke daerah Jepara, kemudian menetap di Demung, tak jauh dari Surabaya sekarang. Bersama sekitar 2.000 pengikutnya, Galesong bersekutu dengan Trunajaya untuk berperang melawan Mataram. Persekutuan itu juga ditandai ikatan perkawinan antara Galesong dengan putri Trunajaya, Suratna, pada Desember 1675.

Ketika pemberontakan Trunajaya benar-benar berkobar, di bawah komando Galesong dan Bontomarannu, orang-orang Bugis-Makassar mulai menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara bagian timur Jawa. Mataram kian terdesak. Bahkan dalam serbuan ke pedalaman, pusat kekuasaan Mataram di Plered sempat direbut Trunajaya.

Baru setelah campur tangan Belanda, pemberontakan Trunajaya bisa diredam. Salah satu tokoh kunci di balik keberhasilan Mataram mengakhiri pemberontakan Trunajaya adalah Karaeng Daeng Naba. Berkat usaha Daeng Naba membujuk Galesong—yang disebut sebagai adiknya—agar menghentikan perang dengan Mataram, pemberontakan Trunajaya akhirnya bisa ditumpas.

Drama sejarah ini berakhir tragis. Galesong yang mematuhi saran Daeng Naba dianggap berkhianat dan dibunuh oleh mertuanya, Trunajaya. Adapun Trunajaya akhirnya tewas di tangan Amangkurat II pada 1679.

Akan halnya Daeng Naba yang bernama lengkap I Manggaleng Karaeng Daeng Naba, putra I Manninori J Karetojeng, seterusnya dipercaya jadi bagian pasukan Mataram. Dengan kekuatan 2.500 kavaleri, laskar Daeng Naba yang terdiri atas orang-orang Bugis-Makassar tersebut menjadi pasukan inti Kerajaan Mataram ketika itu.

“Romantika kisah para leluhurku telah membuat aku semakin sadar bahwa perjuangan bangsaku telah melalui sejarah yang sangat panjang,” kata Adin.

Sejarah memang penuh romantika. Kehadiran orang-orang Bugis-Makassar di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di tanah Jawa, tak bisa disangkal merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini “menjadi Indonesia”. Benih-benih kebangsaan itu pun tumbuh seiring proses akulturasi budaya,

Semakin jelas bahwa bangsa besar ini lahir dari pergulatan antaretnis. Bila muncul klaim bahwa hanya golongan tertentu yang paling berjasa dalam proses bangsa ini “menjadi Indonesia”, tentu saja pandangan semacam itu sungguh menyesatkan...

SUMBER
dimuat di KOMPAS, Jumat, 16 Januari 2009


Baca Selanjutnya >>>

21 Maret, 2010

Akhirnya Gak Kerasa Dah Setahun Ga Ngeblog...

Wah... Ga kerasa, terakhir kali posting blog bulan maret tahun lalu... hmm.. Padahal beberapa bulan setelahnya udah selalu berencana untuk posting lagi walaupun cuma dikit2... Yah, apa daya karna kerjaan dan tugas yang numpuk diperparah manajemen waktu yang brantakan, jadilah sebuah blog yang "hangat2 t*i ayam"... wueeehhh... tapi insyaAllah ke depan harus bisa lebih aktif lagi nge-blognya, minimal sebulan sekali lah postingnya.. Okeee... Semangat...!!!

Baca Selanjutnya >>>